Sunday, September 27, 2020

Derai Air di Tiga Pasang Mata

 

id.pinterest.com

Pagi ini ku dapati lagi satu dari sekian banyak  makna hidup yang tampak pada sebuah peristiwa. Seorang gadis tersedu di hadapan wanita paruh baya yang  semakin terlihat tak mampu menahan kekecewaannya. Malaikat kecil dihadapannya telah menjelma menjadi sebuah kepedihan. Wanita paruh baya yang tak lain adalah ibunya mematung dengan tatapan kosong. Sekali pun Sang gadis berusaha memohon dalam derai.

                Teringat beberapa waktu yang lalu, masih tampak kebahagiaan diantara ibu dan gadis bermata coklat berambut ikal itu. Dengan penuh cinta Sang ibu tak pernah meninggalkan rutinitasnya kala pagi menyapa. Menyiapkan sarapan kesukaan putri semata wayang yang selama hampir 20 tahun hadir sebagai satu-satunya orang yang menemani di kala apapun.

                Hidup menjalani dua peran sekaligus sebagai ibu juga ayah, dia berjuang memberikan yang terbaik bagi putri terkasih. Menjadikan masa lalu benar-benar sebagai masa lalu, sekali pun tak pernah menoleh pada masa paling menyakitkan dalam hidup. Tatkala ia dan Sang putri kehilangan arah, satu-satunya tumpuan hidup mereka pergi tanpa sedikit pun kata perpisahan. Hingga kini mereka benar-benar hanya berdua menjalani hari demi hari.

                Dihadapannya memohon seorang putri kecil yang telah beranjak dewasa. Bersimpuh  dengan derai yang semakin sulit tertahan. Tak pernah terfikir oleh nya, bahwa kepedihan 20 tahun silam akan dikembalikan sang putri kebanggaan. Sebelum saat ini, tak pernah sekali pun ia dikecewakan hingga mendapat kepedihan yang teramat dalam.

                Di sudut ruangan, seorang pria dengan wajah tertunduk tak kuasa menahan air mata. Melihat sosok-sosok yang pernah ia tinggalkan tengah berperang perasaan di hadapannya. Perih atas pemandangan yang tampak karena kesalahannya. Mengapa tak ia ambil keputusan lain kala itu?. Setan apa yang membuat ia meninggalkan keduanya?. Kini tinggallah penyesalan terbesar yang tak akan pernah bisa merubah apapun. Tak pernah serapuh itu,ia membiarkan air mata semakin mengaliri pipinya.

                Sementara wanita paruh baya dan gadis yang kini tak lagi kecil itu. Saling memberanikan diri untuk beradu pandang. Tak dapat di pungkiri, isyarat kasih sayang keduanya berbicara hanya dari tatapan mata. Kini takk ada suara selain isak tangis ketiganya, tak ada yang mampu mereka rubah dari masa lalu. Sang putri hanya ingin mengembalikan apa yang sempat hilang darinya. Ia telah amat berusaha, namun wanita paruh baya itu terlalu sakit mengingat masa lalunya. “Putriku sayang mengapa kau lakukan ini?”, dalam peluk disertai isak tangis, mereka tak jua mampu berkata.  

                 

               

No comments:

Post a Comment