Wednesday, August 21, 2019

SAAT TEMAN SOSMED JADI MUSUH MENGERIKAN TATKALA MENANTI BUAH HATI

August 21, 2019 0 Comments

“Alhamdulillah, Garis 2”, diikuti smile emoticon disertai foto sebuah test pack sebagai penguatan atas ungkapan yang diunggah di sebuah status salah satu teman facebook. 
“Ngidam rujak nih, bawaan utun”
“Janin sudah sebesar buah blueberry, strawberry atau nangka”, lengkap  dengan emoticon lope-lope menimpa screenshoot sebuah aplikasi kehamilan.  Video seorang memperlihatkan perut besarnya yang bergerak-gerak karena jiwa yang tengah aktif bergerak di dalamnya. Dan ungkapan-ungkapan kebahagiaan lain yang menghiasi insta story teman-teman sosial media saya.
Nyaris setiap hari saya menyaksikan pemandangan itu di sosial media. Sejujurnya, diawal-awal pernikahan merasa ikut bahagia dengan kehamilan teman-teman saya, terlebih ketika tahu salah satu sahabat juga mengalami itu. Bahagia bukan main, rasanya ada atmosfir untuk berfikir positif bahwa tidak akan  lama lagi giliran saya yang mengalami kehamilan.
Kondisi itu berlangsung hingga sekitar 6 bulan pernikahan, sampai semua berubah menjadi kesedihan mendalam saat setiap test pack yang saya beli tidak sama sekali menunjukkan 2 garis merah seperti yang teman-teman saya dapatkan.
Berminggu-minggu menunggu kabar baik hadirnya janin dalam Rahim, dan tibalah saya pada masa menstruasi yang rutin datang secara teratur  tanpa masalah, pecahlah tangisan jika saat itu tiba. Melewati minggu menginjak bulan hingga akhirnya berbulan-bulan kondisi tersebut menghiasi hari-hari.
Kesedihan semakin mendalam, karena di tengah penantian banyak pertanyaan dan pernyataan  tentang kehamilan yang saranya agak menyudutkan kita sebagai perempuan. Di tambah teman-teman sosial media yang memperlihatkan kebahagian atas kehamilan  yang sudah lebih dulu mereka alami. Lengkap sudah rasanya kesakitan itu.

Sebuah aktifitas wajar yang dilakukan mereka sebagai ungkapan kebahagian atas nikmatnya menjadi calon ibu dengan beragam perubahan psikologis yang mereka alami. Tanpa mereka sadari bahwa sesuatu yang biasa mereka lakukan di sosial media, bagi sebagian orang adalah kesakitan yang teramat di dunia nyata. Rasanya kian hari kian abu – abu, warna kehidupan sedikit demi sedikit terurai dalam kesakitan. Setiap kali membuka instagram, facebook atau whatsapp ada kengerian yang membuat penasaran. Saya tahu meihat story mereka hanya akan menimbulkan kesakitan, tapi entah kenapa dorongan untuk membuka apa yang mereka bagikan selalu menjadi pilihan terakhir dengan resiko  terbesar membuat hati berdebar menahan kekecewaan.
Kamu mungkin mengalami juga hal itu???.
Menyakitkan bukan???
Lalu apa yang salah???, kenapa itu semua terasa sangat menyakitkan??. Teman sosial media seperti musuh besar di tengah penantian buah hati?. Apa yang mereka bagikan seperti racun mematikan. Mematikan senyuman dan kebahagian  karena satu hal bernama kehamilan.

 ***

Saya tertarik merenungkan, apa dan siapa yang salah?, siapa yang bertanggung  jawab terhadap kesakitan yang menimpa saya. Dan dari perjalanan merenungkan semua itu saya faham bahwa seluruhnya adalah tanggung jawab saya dan bukan kesalahan siapapun.
Sosial media adalah tempat kedua bagi setiap individu dalam menjalani kehidupan mereka secara pribadi. Benar, sama halnya dengan kehidupan nyata yang walaupun kita hidup berdampingan dengan banyak orang hakikatnya kita sendiri yang menjalani dan menentukan akan diapakan kehidupan tersebut, akan dibagi dengan siapa dan apa saja hak-hak yang kita miliki.
Jadi,menggunakan sosial media sepenuhnya menjadi hak setiap individu. Mereka tidak salah ketika membagikan berita dan kondisi kehamilan mereka di sosial media. Mereka tidak salah show up tentang apapun yang mereka alami selama proses kehamilan. Mereka tidak salah dengan sebanyak apapun insta story tentang kehamilan yang mereka buat setiap harinya. Tidak ada yang salah dengan mereka.
Kita juga tidak salah, tentu sebagai manusia biasa ada sisi lemah yang membuat kita lebih sensitif terhadap sesuatu yang menyentuh hati. Termasuk ketika kita melihat apa yang kita inginkan belum kita peroleh sementara orang lain dengan bahagia membagi apa yang sudah mereka dapatkan.
Tapi kita tentu bertanggung jawab dan punya andil besar untuk mengendalikan diri kita sendiri. Bagaimana agar apa yang kita lihat dan dengar , walaupun menyakitkan tetap  terasa menyenangkan. Tidak perlu merasa menjadi korban tatkala menyaksikan teman-teman sosial media show up kebahagiaan mereka terkait kehamilan. Kita tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Sebahagia apapun seseorang di sosial media, mereka tetap saja menyimpan permasalahan yag hadir di kehidupan nyata.

Selama kita masih merasa bahwa sosial media adalah sebuah kebutuhan, masih ingin menggunakannya, gunakanlah dengan bijak dan mulailah berdamai dengan apa yang mungkin kita lihat disana. Rasanya menjadi tidak perlu menyalahkan siapapun, tidak perlu merasa tersakiti dan tidak perlu berfikir bahwa mereka adalah musuh terbesar dalam penantian. Lagi-lagi menata hati menjadi pilihan terbaik untuk menyayangi diri kita dengan membiarkannya selalu dalam kondisi bahagia.
Tetap semangatttttt, jangan berhenti berdo’a dan berusaha, Allah paling tau kapan waktu terbaik menghadirkan buah hati dalam kehidupan kita. Mari sama-sama belajar menerima dan ridho dengan apa yang Allah hadapkan pada kita dan kehidupan yang tengah kita jalani. 

Sunday, August 18, 2019

"Menata Hati" Ketika Belum Kunjung Hamil...

August 18, 2019 3 Comments

Kamu mungkin tau bagaimana rasanya sangat berharap memiliki momongan sementara kesempatan hamil bahkan belum pernah kamu rasakan. Bagaimana rasanya di cecar beragam pertanyaan perihal kehamilan, kenapa belum hamil?, Ditundakah? Dan lain sebagainya perihal itu. Berapa banyak test pack yang kamu beli tanpa satupun memberikan kabar baik. Seberapa keras kamu menata hati menyaksikan teman temanmu show up kehamilan mereka di sosial media??. Bagaimana kamu berfikir sedang hamil dengan tanda tanda yang kamu temukan pada dirimu, lalu ternyata itu bukan tanda kehamilan? Bagaimana hari-harimu diisi dengan menunggu kabar baik itu, namun belum kunjung datang?.


Kamu pasti tau bukan bagaimana rasanya???...

Saya mengalami itu, saya berdo'a, beristigfar, memohon dan meminta.
Saya kebingungan, nasihat untuk terus beristigfar saya lakukan, bershalawat saya dawamkan . Tapi, kalian tentu tahu apa yang kemudian  terjadi?, hasilnya tetap sama.  Saya terus bertanya dosa apa yang belum terampuni????.


Hingga sampailah saya di titik sangat lelah menunggu, lelah berdo'a, lelah berusaha, dan berakhir pada titik dimana saya berani menyalahkan Allah dan ketetapannya. Astagfirullah....


Saat seperti itu pula, adalah saat dimana saya bertarung dengan lingkungan.
Mengapa demikian???
Lingkungan menyiratkan banyak gambaran kehidupan yang saya inginkan, namun bertentangan dengan apa yang saya tengah jalani.


Teman teman yang show up kehamilan mereka di sosial media, sementara saya belum hamil. Teman-teman saya bilang mereka bahagia, saya tidak merasakan sebahagia apa. Mereka tersenyum saya berfikir dan bertanya "kenapa??", "Kenapa saya??"

***

Rasanya ini bukan kali pertama saya menunggu, bukan juga yang ke dua atau ke tiga, ini kesekian, menunggu apa yang benar-benar saya inginkan. Harusnya mulai terbiasa menunggu, tapi faktanya saya memang hanya manusia biasa yang secara personal suasana hati mudah berubah dan tingkat keimanan yang naik turun dengan signifikan.


Harus bagaimana??? 

Sementara ingin rasanya melewati penantian ini dengan baik, mengukir jejak yang indah tanpa menyalahkan Allah, menghakimi takdir dan meratapi nasib.
Saya ingin tetap bahagia di tengah hujan status kehamilan teman-teman saya, saya ingin sudut mata ini tetap kering tatkala setiap bulan mendapati kenyataan bahwa ikhtiar menghadirkan momongan masih harus dilakukan. 


Akhirnya saya benar benar menyalahkan Allah, menghakimi takdir dan meratapi nasib dengan derai air mata yang menganak sungai.

***

Lalu kembali lah saya pada masa lalu, melihat dan mengingat apa yang pernah terjadi kala itu. Bagaimana saya menunggu banyak hal hingga akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan. 

Yang saya ingat, saya tetap hidup sampai detik ini, saya mampu melewati momentum penantian di masa lalu dan saya akui dari experience itu saya belajar banyak. Dengan begitu apa alasan saya tidak bisa melewati ini dengan baik?.


Baiklah.....
Saya rasa perlu melakukan sesuatu untuk tetap bahagian dalam penantian ini.
Sesuatu yang membuat saya lupa dengan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan ketidak syukuran.


Terus "Menata Hati"....
Ya, itu yang kemudian harus saya lakukan.
Seperti ruangan dalam rumah, saya memiliki ruang dalam hati.
Jika rumah yang tertata rapi akan terasa nyaman dan menyejukkan, begitu pun hati.


Bagaimana kemudian saya berupaya menata hati??

Yakni dengan mengingat bahwa apapun yang terjadi adalah bentuk kecintaan Allah terhadap hambanya.
Bahwa yang kita rasa baik belum tentu bagi Allah dan sebaliknya.
Bahwa apa yang belum di dapatkan adalah sesuatu yang telah Allah persiapkan dengan sempurna sebelum akhirnya tangan kita menerimanya.


Tidak perlu menghindari teman teman yang sudah lebih  dulu Allah beri kesempatan hamil. Tidak perlu berprasangka buruk ketika mereka show up kehamilan di sosial media.
Tidak perlu menanggapi negatif pertanyaan khalayak tentang kenapa belum hamil?.

Tidak lakukan itu, karena jika iya, lelah lah kita.

Menata hati, adalah meletakkan dengan tepat dan pada posisi semestinya sesuatu di dalam hati. Semoga seluruh perempuan dengan kondisi serupa, semakin pandai menata hatinya. Begitupun saya, yang sampai detik ini masih terus berusaha.
Semangat sahabat....


Insyaallah, Allah segerakan kehadiran putra putri melengkapi kehidupan rumah tangga kita

Wednesday, August 14, 2019

SATU TAHUN MENIKAH BERKALI-KALI SAYA DITAMPAR SUAMI

August 14, 2019 5 Comments

      
     Berulang kali saya katakan, saya adalah si melankolis yang dramatis. Mudah tersentuh hatinya dan terlalu mendramatisir apa yang di alami. Selalu berfikir bahwa menjadi saya tidak mudah, penuh ujian dan tantangan. Sebelum akhirnya menikah banyak kesakitan yang saya dapatkan, banyak kekecewaan yang saya terima. Sempat menyerah dengan Rahmat Allah karena jodoh saya tak kunjung datang kala itu.
       Setiap hari saya meminta yang terbaik, tapi yang datang adalah sosok sosok Bumengecewakan. Tidak se visi dan se misi, tidak kooperatif dan akhirnya membuat saya menangis dan selalu seperti itu berulang-ulang kali.
      Suatu ketika sampailah pada momentum dimana seseorang datang untuk menyampaikan niat nya melamar saya. Satu tahun yang lalu tepatnya, ketika saya berada dititik pasrah dengan apa yang Allah tetapkan. Saya menerima lamarannya, hingga dia secara agama dan negara sah sebagai suami saya. Tentu saya bahagia dengan visi misi yang ia tawarkan. Semua nyaris sama dengan  apa yang saya harapkan ada pada suami saya.
      Sampai disana semua baik-baik saja. Saya menikmati menjadi istri dari suami saya. Dia baik, bertanggung jawab dan menghargai saya tidak hanya sebagai istri tapi sebagai perempuan dengan segala keterbatasannya.
     Kebiasaan kami yang paling menonjol  setelah menikah adalah saling bertukar informasi, saling berbagi kisah apa yang terjadi dari satu hari yang kami lewati. Bahkan lambat laun hal itu menjadi rutinitas. Dan dari rutinitas itu aku semakin lebih jauh mengenal siapa sebenarnya dia.
       Lama kelamaan tampak lah dengan jelas perangai suami saya. Sering kali dia menampar dan membuat saya menangis.
Kian hari kian sering hal itu terjadi. Terlebih setelah kami kerap membuka pembahasan tentang belumnya Allah memberi kami kepercayaan untuk memiliki anak dalam kehidupan rumah tangga kami. Hal itu selalu berakhir dengan tamparan yang membuat saya bercucuran air mata.
      Puncaknya kemarin malam. Saat kami kembali membahas perihal anak dan keturunan yang belum menunjukkan tanda tanda kehadiran nya.
Entah kenapa saya tiba tiba terdorong untuk bertanya satu pertanyaan yang sebetulnya saya menyadari bahwa itu agak konyol.
"Aa (panggilan saya untuk suami), kenapa aa nggak pernah terlihat marah sama Allah??"
"Kalo harus marah, alasannya apa??,"jawab suami.
"Alasan nya ya karena kita belum punya anak, aku belum ada tanda tanda kehamilan setelah satu tahun kita menikah, kita sudah ikhtiar, sudah do'a siang malam, tapi Allah belum juga memberi kepercayaan itu." Berlinang lah saya tiba-tiba, dan ini bukan kali pertama. Momentum membahas hal ini selalu berakhir dengan pecahnya tangisan saya.
       Suami tersenyum, melihat saya menangis dia  seperti sedang menonton sebuah kelucuan. Sejenak dia terdiam hingga akhirnya kembali menanggapi perkataan saya.
"Apa harus marah hanya karena itu?, setelah sekian banyak kenikmatan yang Allah kasih. Justru aa malu, dengan begitu banyak kebaikan Allah, aa belum bisa jadi hamba yang baik. Syukuri, apa yang kita dapat saat ini. Kalo soal dunia sering-seringlah melihat ke bawah.
Saat ini kita belum Allah beri kepercayaan punya anak, coba lihat sahabat-sahabat kita yang saat ini masih menanti jodohnya. Kalo sekarang kita belum kaya harta coba lihat saudara kita yang untuk cari makan hari ini saja masih kesulitan, sementara Alhamdulillah Allah sudah cukupkan kita. Lihatlah ke bawah insyaallah kita akan lebih banyak bersyukur."
       Semula hanya berlinang, seketika sudut mata  menumpahkan genangan air yang mengalir melewati setiap garis wajah, deras sekali hingga saya terisak dalam pelukan sosok yang selalu menenangkan itu.
       Untuk kesekian kali saya di tampar kata-kata penuh kelembutan, terlontar dari pribadi yang selalu berusaha tampak manis di depan saya. Tidak pernah marah, tidak pernah berbicara dengan nada yang terlampau tinggi dan selalu memotivasi.
Semoga Allah istiqamah kan ia dalam kebaikan.
       Tamparan demi tamparan itu selalu terasa menyayat hati, tatkala saya ingat betapa pengabdian ini masih jauh untuk
membalas kebaikan sang maha Rahman.
Bahkan mungkin nyaris tidak mampu membalas semua yang telah Allah berikan.
      Semakin menyayat hati, saat saya sadar setiap tantangan yang Allah berikan   adalah bentuk cinta yang diakhiri dengan pemberian hadiah terbaik.
       Seperti suami saya, pribadi baik yang Allah kirimkan untuk menjadi bagian dari hidup saya setelah sebelumnya Allah lebih dulu pertemukan dengan sosok sosok yang memang tidak baik untuk si melankolis seperti saya. Hadirnya suami adalah salah satu dari sekian banyak  alasan untuk selalu bersyukur dan berhusnudzon kepada Allah. Dan berkat kelembutan hatinya lah saya mampu menyadari itu.
       Semoga Allah segerakan kehadiran buah hati dalam perjalanan rumah tangga kami... Aamiin..