Sunday, March 22, 2020

Perjuangan Husnudzon

March 22, 2020 0 Comments
pic from pinterest

                “Dia kok nggak permisi ya?, padahal tau disini ada orang”. “Dasar nggak sopan amat”. 
                “Dia kok tiap hari statusnya main terus ya?, Boros”
            “Euh, bosen deh liat status dia posting foto anak sampe kayak orang sakit di kasih obat sehari 3x
               “Rumah biasa-biasa aja pake beli mobil segala, padahal uangnya bisa buat renovasi rumah tuh”

                Saya yang bergidik sendiri sambil nulis ini, pengen ketawa takut dosa, dulu pernah jadi manusia macam ini. Eh….. maybe sekarang juga masih deh (tappokkk jidaaat).
                Jangan kira ini perkara sederhana, berfikir tentang orang lain dari sudut pandang kita yang merasa benat, tentu tidak dibenarkan. Dalam tulisan sebelumnya, saya sempat mebahas bahwa kita perlu memberi udzur sebanyak-banyaknya pada sesuatu yang kita rasa salah dari orang lain.

“Dia kok nggak permisi ya?, padahal tau disini ada orang”. “Dasar nggak sopan amat”. Hey……. Mungkin di terburu buru atau memang sedang nggak fokus.

                “Dia kok tiap hari statusnya main terus ya?, Boros”. Barangkali dia jalan-jalan di tengah pekerjaan yang membuat dia penat.

“Euh, bosen deh liat status dia posting foto anak sampe kayak orang sakit di kasih obat sehari 3x”. Mungkin dia memiliki permasalahan yang kita tidak pernah tau, entah masalah itu bersumber dari suami, mertua, atau kelarganya yang lain bahkan dari orang lain. Lalu sang anak menjadi salah satu sumber kekuatan yang mungkin ingin ia tunjukkan pada khalayak.

                “Rumah biasa-biasa aja pake beli mobil segala, padahal uangnya bisa buat renovasi rumah tuh”. Hellowwww, kamu siapa?, sejauh apa punya kapasitas untuk mengatur hidup orang lain?. Bisa saja orang yang rumahnya biasa saja dan memilih membeli mobil, mereka punya rencana besar yang kita tidak tau, misal ingin memberi banyak kemudahan pada orang lain dengan mobil yang ia miliki.

Idealnya sih gitu ya, punya seribu alasan untuk  berprasangka baik. Tapi benar nggak sih menurut kalian, kalo husnudzon itu nggak gampang?. Ada aja  yang  bikin kita masih  suudzon sama orang sekalipun dalam kondisi sadar. Dan setelahnya baru deh ngeuh kalau kita sudah berprasangka buruk terhadap orang lain.

Tau, bahwa pada prisnsipnya suudzon itu tidak dibenarkan.  Tapi faktanya tanpa disadari saya sendiri masih melakukan itu terhadap lingkungan dan menyadari bahwa Husnudzon perlu sekali di perjuangkan.

Semoga Allah senantiasa memampukan kita untuk berfikir dan bersikap husnudzon terhadap orang lain.



               

Mesin Waktu Pembawa Haru

March 22, 2020 0 Comments
Dokumentasi pribadi 21/03/20

Covid marak di seluruh penjuru dunia, dan kemarin saya post tulisan terkait itu di gurusiana.id. hari ini saya punya topik yang nyaris terlupakan setelah terlewati satu minggu kebelakang.  Topik yang membawa saya pada atmosfir delapan belas tahun silam.
Kala itu, di pagi yang masih menunjukkan bahwa pukul 06.00 seluruh benda di sekitar kita belum tampak sempurna wujudnya, serta gelap dan sejuk yang kini tidak lagi saya dapati. Setiap pagi itu pula mama dengan sigap membuka dan merapikan seluruh dagangannya. Sepulang saya mengaji semua sudah tertata rapi, mulai dari sembako hingga sayuran yang dibelinya sebelum waktu subuh tiba.
Sebelum berangkat ke sekolah saya menyaksikan bagaimana mama berjibaku dengan seluruh pekerjaannya. Dia tidak pernah mengeluhkan itu, terlebih jika saya dan kakak-kakak bisa sedikit banyak membantu pekerjaannya. Sepulang sekolah pemandangan itu pula yang setiap hari saya lihat, mama dan warung kecil berteralis kayu yang disebutnya sebagai tangkeban. 
Beranjak sore selepas ashar, aku adalah anak usia delapan tahun pada umumnya. Pilihan terbaik dari sebuah hidup yang dijalani anak berusia delapan tahun adalah bermain bersama teman sebayanya. Kami memiliki satu tempat terbaik yang cukup membuat kami senang berada di sana. Bebas dan tak terbatas melakukan apapun yang akrab sebagai permainan khas anak kala itu.
Sebuah ruang berukuran cukup luas, mungkin sekitar 3x4 meter persegi berada tidak jauh dari tempat saya tinggal. Ruangan yang di dalamnya memiliki beberapa tiang penyangga itu selalu tampak terang di siang hari dan terasa hangat di malam hari. Di banding rumah kami bangunan itu sangat luas untuk melakukan banyak permainan anak-anak. Sementara itu di lantai 2 sebuah ruangan berukuran sama namun berdinding kayu menyimpan sebuah asal usul yang menjadi salah satu alasan kenapa hari ini saya menyukai dunia literasi, ya….. sebuah taman bacaan sedehana dengan hanya satu rak buku di ruangan seluas itu.
Setiap sore hingga bada isya kami menghabiskan masa kecil yang bermakna. Seorang wanita paruh baya menyertai masa kecil kami dengan berbagai pengetahuan agama. Sebuah madrasah yang dibuat ia bersama keluarga menyisakan cerita yang sulit menghilang dari ingatan hingga saat itu telah berlalu 18 tahun kemudian. 
Hingga satu minggu yang lalu, sedikit dari atmosfir itu dikembalikan dari persembunyiannya. Tatkala aku merasakan ia kembali dalam dimensi yang lain. Tiba-tiba bayangan masa lalu yang menyenangkan itu menyeruak, berlinang pelupuk mata menahan keharuan. Haru yang teramat pada masa yang menghadirkan orang-orang terkasih di dalamnya. Wanita paruh baya yang mengisi kepalaku dengan ilmu agama, ibunda tercinta yang keduanya telah tiada, sahabat-sahabat masa kecil dengan kehidupan mereka kini, dan atmosfir kehidupan yang rasanya tidak pernah lagi saya temukan.
Hari itu, saya duduk di samping suami yang telah hampir satu bulan kebelakang ikut menjadi bagian dari malaikat-malaikat kecil itu menghabiskan waktu magrib hingga selepas shalat isya. Mempelajari hadist-hadist rasul yang paling sederhana, membaca Al-Qur’an hingga bermain tepuk bersama.
Mereka yang hadir dengan kekhasan anak-anak pengajian zaman saya di delapan belas tahun silam, berpakaian muslim muslimah, Al-Qur’an dan alat shalat di tangan datang bersama semangat mengupdate isi kepala mereka dengan ilmu agama. Nadhom-nadhom yang juga pernah saya dengarkan delapan belas tahun silam kini hadir kembali di tengah kekhawatiran saya dan suami perihal semakin berkurangnya keberadaan madrasah semacam ini dan langkanya pemandangan anak-anak yang berbondong pergi kemadrasah untuk mengaji.
Atmosfir masa lalu yang hadir di dimensi ini, memutar rekaman wajah-wajah yang tak lagi saya temui wujudnya hari ini. Saya yang dimasa lalu adalah sebagai mereka yang hari ini berda tepat dihadapanku, berusia sekitar delapan hingga 10 tahun. Membawaku pada keharuan dan keingninan untuk kembali pada masa itu.
Kemana saya satu bulan lalu?, saat suami memutuskan membantu mengajar selama satu minggu satu kali di madrasah samping rumah ibu mertua. Saya yang hanya memberi dukungan atas pilihan suami dengan meng iya kan tanpa berfikir untuk ikut terlibat didalamnya. Saya yang hanya menunggu ia pulang selepas tiba waktu shalat isya, kemana?
Tapi, masa bodo dengan penyesalan itu, “Kenapa tidak sejak awal saya ikut suami mengajar apa yang sedikit saya miliki ini?”. Yang terpenting adalah saya telah tahu bagaimana dan apa yang saya rasakan ketika kedua telapak kaki menginjak latai yang sekan menjadi mesin waktu. Membawa saya pada kenangan masa lalu. Semoga Allah istiqamahkan apa yang saya dan suami jalani hari ini, dan semoga madrasah tetap memiliki tempatnya di tengah keanehan yang diperlihatkan oleh kemajuan zaman.