Sunday, March 22, 2020

Mesin Waktu Pembawa Haru

Dokumentasi pribadi 21/03/20

Covid marak di seluruh penjuru dunia, dan kemarin saya post tulisan terkait itu di gurusiana.id. hari ini saya punya topik yang nyaris terlupakan setelah terlewati satu minggu kebelakang.  Topik yang membawa saya pada atmosfir delapan belas tahun silam.
Kala itu, di pagi yang masih menunjukkan bahwa pukul 06.00 seluruh benda di sekitar kita belum tampak sempurna wujudnya, serta gelap dan sejuk yang kini tidak lagi saya dapati. Setiap pagi itu pula mama dengan sigap membuka dan merapikan seluruh dagangannya. Sepulang saya mengaji semua sudah tertata rapi, mulai dari sembako hingga sayuran yang dibelinya sebelum waktu subuh tiba.
Sebelum berangkat ke sekolah saya menyaksikan bagaimana mama berjibaku dengan seluruh pekerjaannya. Dia tidak pernah mengeluhkan itu, terlebih jika saya dan kakak-kakak bisa sedikit banyak membantu pekerjaannya. Sepulang sekolah pemandangan itu pula yang setiap hari saya lihat, mama dan warung kecil berteralis kayu yang disebutnya sebagai tangkeban. 
Beranjak sore selepas ashar, aku adalah anak usia delapan tahun pada umumnya. Pilihan terbaik dari sebuah hidup yang dijalani anak berusia delapan tahun adalah bermain bersama teman sebayanya. Kami memiliki satu tempat terbaik yang cukup membuat kami senang berada di sana. Bebas dan tak terbatas melakukan apapun yang akrab sebagai permainan khas anak kala itu.
Sebuah ruang berukuran cukup luas, mungkin sekitar 3x4 meter persegi berada tidak jauh dari tempat saya tinggal. Ruangan yang di dalamnya memiliki beberapa tiang penyangga itu selalu tampak terang di siang hari dan terasa hangat di malam hari. Di banding rumah kami bangunan itu sangat luas untuk melakukan banyak permainan anak-anak. Sementara itu di lantai 2 sebuah ruangan berukuran sama namun berdinding kayu menyimpan sebuah asal usul yang menjadi salah satu alasan kenapa hari ini saya menyukai dunia literasi, ya….. sebuah taman bacaan sedehana dengan hanya satu rak buku di ruangan seluas itu.
Setiap sore hingga bada isya kami menghabiskan masa kecil yang bermakna. Seorang wanita paruh baya menyertai masa kecil kami dengan berbagai pengetahuan agama. Sebuah madrasah yang dibuat ia bersama keluarga menyisakan cerita yang sulit menghilang dari ingatan hingga saat itu telah berlalu 18 tahun kemudian. 
Hingga satu minggu yang lalu, sedikit dari atmosfir itu dikembalikan dari persembunyiannya. Tatkala aku merasakan ia kembali dalam dimensi yang lain. Tiba-tiba bayangan masa lalu yang menyenangkan itu menyeruak, berlinang pelupuk mata menahan keharuan. Haru yang teramat pada masa yang menghadirkan orang-orang terkasih di dalamnya. Wanita paruh baya yang mengisi kepalaku dengan ilmu agama, ibunda tercinta yang keduanya telah tiada, sahabat-sahabat masa kecil dengan kehidupan mereka kini, dan atmosfir kehidupan yang rasanya tidak pernah lagi saya temukan.
Hari itu, saya duduk di samping suami yang telah hampir satu bulan kebelakang ikut menjadi bagian dari malaikat-malaikat kecil itu menghabiskan waktu magrib hingga selepas shalat isya. Mempelajari hadist-hadist rasul yang paling sederhana, membaca Al-Qur’an hingga bermain tepuk bersama.
Mereka yang hadir dengan kekhasan anak-anak pengajian zaman saya di delapan belas tahun silam, berpakaian muslim muslimah, Al-Qur’an dan alat shalat di tangan datang bersama semangat mengupdate isi kepala mereka dengan ilmu agama. Nadhom-nadhom yang juga pernah saya dengarkan delapan belas tahun silam kini hadir kembali di tengah kekhawatiran saya dan suami perihal semakin berkurangnya keberadaan madrasah semacam ini dan langkanya pemandangan anak-anak yang berbondong pergi kemadrasah untuk mengaji.
Atmosfir masa lalu yang hadir di dimensi ini, memutar rekaman wajah-wajah yang tak lagi saya temui wujudnya hari ini. Saya yang dimasa lalu adalah sebagai mereka yang hari ini berda tepat dihadapanku, berusia sekitar delapan hingga 10 tahun. Membawaku pada keharuan dan keingninan untuk kembali pada masa itu.
Kemana saya satu bulan lalu?, saat suami memutuskan membantu mengajar selama satu minggu satu kali di madrasah samping rumah ibu mertua. Saya yang hanya memberi dukungan atas pilihan suami dengan meng iya kan tanpa berfikir untuk ikut terlibat didalamnya. Saya yang hanya menunggu ia pulang selepas tiba waktu shalat isya, kemana?
Tapi, masa bodo dengan penyesalan itu, “Kenapa tidak sejak awal saya ikut suami mengajar apa yang sedikit saya miliki ini?”. Yang terpenting adalah saya telah tahu bagaimana dan apa yang saya rasakan ketika kedua telapak kaki menginjak latai yang sekan menjadi mesin waktu. Membawa saya pada kenangan masa lalu. Semoga Allah istiqamahkan apa yang saya dan suami jalani hari ini, dan semoga madrasah tetap memiliki tempatnya di tengah keanehan yang diperlihatkan oleh kemajuan zaman.

No comments:

Post a Comment