Wednesday, April 29, 2020

Sestoples Jelly



                Cita-citaku ketika menginjak usia 4 tahun adalah menjadi seorang pramuniaga. Menjadi kasir sebuah supermarket besar yang setiap hari bergelut dengan CPU,  LCD,  printer kasir, cash drawer, dan yang paling aku suka adalah barcode scanner.

                Saat itu tahun 1997, melihat aktifitas semacam itu di gedung pertokoan yang berbeda dari biasanya membuat ku terkagum dengan bagaimana cara pembelian yang juga tidak biasa. Sebuah alat yang ternyata bernama barcode scanner itu selalu menjadi memori yang membangun      motivasi untuk bisa menggunakannya dikemudian hari.

                Ibuku memiliki toko kelontong yang paling lengkap kala itu, tidak hanya berbagai kebutuhan pokok yang di tawarkan, ibu juga menjual aneka sayuran dan buah-buahan. Kondisi tersebut memberi peluang bagi  anak-anaknya untuk nengeksplorasi segala yang ada di dalam toko kami.
                Aku paling senang mengsimulasikan bagaimana seorang kasir bekerja dengan alat bernama barcode scanner itu, dan kakaku adalah pembelinya.

                Terselip cerita menarik dibalik kesenangan bermain peran sebagai  seorang kasir dan pembeli. Walaupun aku berperan sebagai orang dewasa yang mencintai pekerjaannya sebagai kasir sebuah supermarket, aku tetaplah  seorang anak berusia 4 tahun yang selalu hadir dengan jiwa kekanak-kanakannya. Egosentris, manja dan pecinta jajanan khas anak-anak, luar biasanya ibuku menjual banyak jajanan itu.

                Di sela bermain peran, satu demi satu ku ambil jajanan favoritku yaitu jelly aneka rasa. Ibu menyimpannya dalam sebuah stoples plastik transparan yang membuatku selalu tergoda dengan kesegaran yang ditawarkan melalui warna warni jelly yang menawan.
                Satu demi satu, hingga stoples berada dalam dekapan, kemasan jelly yang sudah berserakan dan sisa jelly dalam stoples yang jumlahnya kini dapat terhitung jari. Menurut ibu, aku menghabiskan semua jelly kurang dari 30 menit hingga benar-benar tak ada yang tersisa di dalam stoples. Dan momentum itu selalu menjadi cerita menarik hingga aku beranjak dewasa. Tidak hanya aku dan ibu, kakak-kakaku juga menyebutku “Si Tukang Ngabisin Sestoples Jellly”. Bahkan hingga hari ini, jika melihat stoples plastik transparan apalagi di dalamnya terdapat jelly, ingatanku selalu tertuju pada kisah masa lalu itu. 

                Aku tidak berfikir apakah ibu akan rugi jika aku menghabiskan semuanya?. Aku tidak mengerti bahwa dalam berniaga  ada prinsip untung dan rugi yang menjadi fokus utama dalam menjalaninya. Tapi terlepas dari itu semua aku yakin ibu tidak pernah merasa dirugikan dengan apa yang aku lakukan kala itu.

                Belakangan aku benar-benar tau bahwa selama bertahun-tahun ibuku menjalani bisnisnya, ia hanya berfokus pada bagaimana agar ia dan keluarga tidak  kesulitan, setidaknya dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Entah apakah terfikir bahwa ia untung ataukah rugi.

2 comments:

  1. Ibu emang is the best, ini novi pakai akun suami. naha ya buka di laptop akunnya suami.

    ReplyDelete
  2. mamah said: kamarana ieu etoples jelly?... :)

    ReplyDelete