Monday, April 6, 2020

Seberapa Penting Komunitas Untuk Pengembangan Minat dan Bakat?

April 06, 2020 1 Comments
Pic From Pinterest


                Komunitas adalah sebuah wadah untuk mengalurkan dan mengembangkan minat serta bakat seseorang terhadap sesuatu. Melalui komunitas, kita akan menemukan orang-orang dengan bakat  juga visi misi yang sama terhadap sesuatu yang kita minati. Lalu seberapa penting sih sebuah komunitas?.
                Saya nggak akan dulu memberi gambaran secara teoritis. Mengingat itu perlu sebuah riset dan saya belum berkesempatan melakukannya. Dengan banyaknya aktivitas akhir-akhir ini di tengah masa isolasi yang membuat jiwa ketidak sukaan saya terhadapa sesuatu yang tampak berantakan meronta-ronta. Saya hanya sempat menulis sesuatu yang tidak harus dikuatkan dengan sebuah riset, itupun saya masih keteteran untuk menulis satu topik satu hari.
                Oke, balik lagi pada seberapa penting komunitas untuk pengembangan minat danbakat seseorang?. Berbicara dari pengalaman menyukai aktivitas menulis dan semua yang berbau kepenulisan saya merasa kehadiran komunitas menjadi sangat penting dan membantu proses berkembang  saya dalam hal ini.
                Sedikit membagikan cerita receh tentang bagaimana saya menemukan komunitas kepenulisan yang tidak pernah berusaha saya cari dan lakukan, setelah sekian lama memiliki ketertarikan pada dunia literasi.
                Saya selalu merasa dan berfikir bahwa ketika ingin menjadi penulis saya hanya harus menulis dan mempublish tulisan-tulisan. Tapi ternyata saya keliru tentang itu, karena dari apa yang dialami, menulis sendiri tanpa sebuah deadline dan tantangan dari orang lain membuat saya lalai dan menulis semaunya. Yang terpenting adalah cukup perlu perjuangan mencari orang yang mau mengkoreksi dan menjadi pembaca tulisan kita, kecuali apa yang kita tulis benar-benar menarik.
                Dua tahun belakangan ini, saya mulai mencoba masuk sebuah komunitas kepenulisan yang hingga hari ini menjadi beberapa. Rasanya berbeda dengan ketika menulis sendiri tanpa komunitas. Tidak memiliki referensi yang beragam, merasa benar sendiri padahal mungkin saya keliru dan jelas tidak saya temukan tantangan-tantangan menulis yang sesungguhnya.
                Jadi, seberapa penting sebuah komunitas?, bagi saya penting sekali. Jadi siapapun di luar sana yang memiliki ketertarikan, minat, dan bakat terhadap sesuatu mulailah mencari komunitas dan bergabung secara langsung di dalamnya.
               


Teman Melankolis

April 06, 2020 1 Comments
Pic from Pinterest


                Karena terkadang tidak banyak orang yang mampu memahami lebih diri kita kecuali orang tersebut memiliki  pola karakter dan kebiasaan yang hampir sama dengan apa yang kita sering lakukan. Dan kamu tentu tahu kan, seasik apa kalau ketemu orang punya hobby dan kebiasaan yang sama dengan kita?. Kita akan merasa menemukan orang yang mampu memahami apa yang menjadi pola pemikiran kita ketika mamandang sesuatu hal.

                Seperti kemarin, tiba-tiba ketika saya mengomentari sebuah postingan bu Novi, teman di komunitas kepenulisan yang saya kenal sekitar hampir dua tahun lalu. Postingan tesebut berisi tumpukan buku karya penulis  produktif Asma Nadia, dimana saya selalu merasa excited dengan itu. Tidak hanya karena itu adalah tumpukan buku karya penulis favorit saya tapi karena gambar itu adalah tumpukan buku yang selalu membuat saya merasa bahagia karenanya.

                Dari mengomentari postingan tersebut kita  berbincang singkat tentang bagaimana proses dan cara mencintai buku dan menulis. Ternyata eh ternyata kita sama-sama memiliki kebiasaan serupa yaitu bukan tipikal pembaca yang mampu berlama-lama membaca. Kita hobby koleksi buku tapi banyak buku-yang kita beli belum kita baca secara utuh dan yang terparah aku sendiri malah punya buku yang sama sekali belum pernah di buka alias masih rapi terbungkus plastik.

                Kita senang menyusun buku sesuai ukurannya, dari yang paling besar hingga yang terkecil. Dan dari obrolan singkat via whatsapp itu, akhirnya juga sama-sama tahu bahwa kita adalah si melankolis yang memiliki cukup banyak kesamaan.

                Apa esensi dari tulisan ini?. Adalah tentang bagaimana saya menemukan fakta baru mengenai sebuah ungkapan seorang teman, bahwa hidup ini seperti magnet. Kita akan menarik sesuatu atau seseorang dengan ketertarikan dan lingkungan yang serupa untuk mendekat.

                Seperti hal nya saya denga bu Novi, atas izin Allah dipertemukan dengan kondisi memiliki ketertarikan, kebiasaan dan hobby yang sama terhadap sesuatu. Dan saya banyak belajar hingga faham betapa pentingnya memiliki serta memilih sebuah ketertarikan terhadap Sesuatu dan menemukan lingkungan yang mengarahkan kita pada hal tersebut, agar kita semakin banyak belajar dan mempelajari secara langsung konsep-konsep kehidupan.

                Ketertarikan itu bisa di pilih dan di tentukan sendiri kok. Faktanya dulu saya sama sekali tidak tertarik terhadap buku, tidak suka sekali membaca dan nyaris tidak pernah, apalagi menulis seperti saat ini. Tapi saya berusaha masuk pada dunia ini dan membangun ketertarikan yang pada akhirnya mempertemukan saya dengan banyak hal luar biasa termasuk di dalamnya seorang teman melankolis.
               
               
               


Friday, April 3, 2020

Ingin Jadi Penulis Tapi Nggak Pernah Nulis?

April 03, 2020 5 Comments


             
Pic from Pinterest
Saya tapok jidat sama kelakuan sendiri. Jangankan satu hari satu judul tulisan, enam bulan satu pun tidak saya lakukan. Lucu kalau inget waktu itu, waktu keinginan jadi penulis begitu menggebu, sekitar 9 tahun lamanya mimpi itu tersimpan sebagai wacana. Di dalam bayangan saya punya banyak buku se produktif Asma Nadia, punya beberapa novel yang di filmkan dan punya banyak pembaca.
                Dari banyak sisi, melakukan apa yang menurut saya bisa jadi upaya atas perwujudan mimpi menjadi seorang penulis. Seperti  membiasakan membaca buku untuk memperkaya kosa kata, membeli buku-buku karya Asma Nadia sebagai referensi. Membuat blog, akun wattpad hingga mendaftarkan diri sebagai kontributor penulis lepas. Tapi saya nggak pernah nulis.
Seorang seniman dikatakann seniman ketika dia menghasilkan banyak karya seni. Nggak tiba-tiba jadi seniman tanpa karya  kan?, begitu pun seorang penulis. Kadang merasa bodoh kalau ingat mimpi ingin jadi penulis sementara action masih nol besar. Selalu dikalahkan dengan apa yang dinamakan writing block, selalu berfikir gimana caranya ngumpulin dulu ilmu nulis baru nulis, sampai akhirnya bener-bener nggak  nulis.
Jadi, sebetulnya bukan saya nggak pernah mencoba menulis, tapi  ketika saya berusaha membuat sebuah karya, kalimat “Ngumpulin dulu ilmu nulis baru nulis” itu lama-lama jadi alibi. Dan ketika writing block, dialog yang tiba-tiba keluar dari alam sadar saya adalah “Ah….. belum cukup nih ilmunya, nanti aja kalo udah cukup baru mulai nulis”. Selalu berakhir seperti itu hingga mimpi untuk jadi penulis lambat laun habis kobaran apinya.    
Tapi bukan berarti kobaran yang hilang itu tidak menyisakan apapun, sisa-sisa percikan api masih memungkinkan dia berkobar kembali. Seperti saat ini, setelah menemukan beberapa komunitas kepenulisan dan bergabung di dalamnya, qadarullah saya menjadi lebih semangat untuk menulis, kembali menghidupkan blog yang saya buat 6 tahun silam. Menulis hal-hal yang semoga bermanfaat bagi orang banyak.
Ketika menulis ini, saya sedang mengikuti sebuah kelas kepenulisan dengan tantangan menulis One Day One Post (ODOP) dimana satu hari kita ditantang untuk menghasilkan sebuah tulisan yang kemudian dipost di blog pribadi. Semoga ini menjadi awal baik, tatkala saya mampu secara konsisten menulis setiap hari.
Pada dasarnya untuk mewujudkan impian menjadi seorang penulis, tentu kita harus menulis. menulis dulu semampunya dan terus belajar dari apa yang sudah ditulis. tanpa menulis dan masuk secara langsung ke dalam aktivitas itu, tentu kita tidak akan pernah tahu bagaimana mempelajari sebuah proses dalam menulis.

Bismillah, semangat menulis bagimu para pejuang literasi…….

Thursday, April 2, 2020

Stigma Pandemi

April 02, 2020 0 Comments
Picture from Pinterest


                Jangan salahkan saya jika inspirasi yang datang untuk menuliskan sesuatu akhir-akhir ini selalu dikaitkan atau bahkan sengaja membahas covid-19. Pandemi yang faktanya membuat banyak orang membicarakan dan menulis terkait itu di sosial media.

                Kita yang desember tahun lalu hanya menyaksikan bagaimana Wuhan dan kegentingan di sana, kini terdampak langsung oleh merebaknya wabah yang tiba-tiba meluluh lantahkan segala tatanan kehidupan.

                Termasuk diantaranya adalah ketakutan yang dimunculkan karena ketidak percayaan satu orang dengan orang lainnya. Kekhawatiran apakah orang yang kita temui dalam kondisi bersih atau tidak dari virus yang kian hari kian membuat resah. Stigma bermunculan dikalangan masyarakat dengan yang tengah ketakutan.

Kota besar yang di jadikan sebagai tempat mencari penghidupan kini dalam kondisi penuh ketakutan, penuh ancaman. Aktivitas pengumpul pundi-pundi rupiah di rumahkan, pulang ke kampung halaman menjadi satu-satunya pilihan.

Tapi, apa yang terjadi ketika keputusan pulang ke kampung halaman memunculkan ketakutan. Ketakutan bagi mereka di kampung halaman yang merasa jiwanya terancam. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di lingkungan tempat saya tinggal. Sebuah stigma bermunculan pada mereka yang pulang dari perantauan.

Seisi kampung semakin merasa terancam, tatkala setiap hari bertambahnya kepulangan orang-orang dari perantauan.  Memang, belum tentu mereka pulang dengan membawa virus covid-19 yang sedang marak diperbincangkan, tapi stigma demi stigma  terlanjur bermunculan tanpa bisa dihentikan termasuk pada keluarga yang menerima kepulangan anggota keluarga dari ibu kota.

Saya demikian, salah satu yang merasa sesak nafas secara tiba-tiba. Takut dengan segala kemungkinan terburuk karena kepulangan mereka. Tapi dibalik itu semua saya percaya Allah dengan segala bentuk perlindungannya, akan selalu membersamai. Tentu selama kita mengingatnya dan tetap ber ikhtiar melakukan sekecil apapun bentuk perlindungan diri.

Semoga segera Allah angkat dari bumi kita, wabah yang telah merenggut banyak nyawa. Tidak hanya di negeri kita tapi seluruh dunia, Aamin…..

Sunday, March 22, 2020

Perjuangan Husnudzon

March 22, 2020 0 Comments
pic from pinterest

                “Dia kok nggak permisi ya?, padahal tau disini ada orang”. “Dasar nggak sopan amat”. 
                “Dia kok tiap hari statusnya main terus ya?, Boros”
            “Euh, bosen deh liat status dia posting foto anak sampe kayak orang sakit di kasih obat sehari 3x
               “Rumah biasa-biasa aja pake beli mobil segala, padahal uangnya bisa buat renovasi rumah tuh”

                Saya yang bergidik sendiri sambil nulis ini, pengen ketawa takut dosa, dulu pernah jadi manusia macam ini. Eh….. maybe sekarang juga masih deh (tappokkk jidaaat).
                Jangan kira ini perkara sederhana, berfikir tentang orang lain dari sudut pandang kita yang merasa benat, tentu tidak dibenarkan. Dalam tulisan sebelumnya, saya sempat mebahas bahwa kita perlu memberi udzur sebanyak-banyaknya pada sesuatu yang kita rasa salah dari orang lain.

“Dia kok nggak permisi ya?, padahal tau disini ada orang”. “Dasar nggak sopan amat”. Hey……. Mungkin di terburu buru atau memang sedang nggak fokus.

                “Dia kok tiap hari statusnya main terus ya?, Boros”. Barangkali dia jalan-jalan di tengah pekerjaan yang membuat dia penat.

“Euh, bosen deh liat status dia posting foto anak sampe kayak orang sakit di kasih obat sehari 3x”. Mungkin dia memiliki permasalahan yang kita tidak pernah tau, entah masalah itu bersumber dari suami, mertua, atau kelarganya yang lain bahkan dari orang lain. Lalu sang anak menjadi salah satu sumber kekuatan yang mungkin ingin ia tunjukkan pada khalayak.

                “Rumah biasa-biasa aja pake beli mobil segala, padahal uangnya bisa buat renovasi rumah tuh”. Hellowwww, kamu siapa?, sejauh apa punya kapasitas untuk mengatur hidup orang lain?. Bisa saja orang yang rumahnya biasa saja dan memilih membeli mobil, mereka punya rencana besar yang kita tidak tau, misal ingin memberi banyak kemudahan pada orang lain dengan mobil yang ia miliki.

Idealnya sih gitu ya, punya seribu alasan untuk  berprasangka baik. Tapi benar nggak sih menurut kalian, kalo husnudzon itu nggak gampang?. Ada aja  yang  bikin kita masih  suudzon sama orang sekalipun dalam kondisi sadar. Dan setelahnya baru deh ngeuh kalau kita sudah berprasangka buruk terhadap orang lain.

Tau, bahwa pada prisnsipnya suudzon itu tidak dibenarkan.  Tapi faktanya tanpa disadari saya sendiri masih melakukan itu terhadap lingkungan dan menyadari bahwa Husnudzon perlu sekali di perjuangkan.

Semoga Allah senantiasa memampukan kita untuk berfikir dan bersikap husnudzon terhadap orang lain.



               

Mesin Waktu Pembawa Haru

March 22, 2020 0 Comments
Dokumentasi pribadi 21/03/20

Covid marak di seluruh penjuru dunia, dan kemarin saya post tulisan terkait itu di gurusiana.id. hari ini saya punya topik yang nyaris terlupakan setelah terlewati satu minggu kebelakang.  Topik yang membawa saya pada atmosfir delapan belas tahun silam.
Kala itu, di pagi yang masih menunjukkan bahwa pukul 06.00 seluruh benda di sekitar kita belum tampak sempurna wujudnya, serta gelap dan sejuk yang kini tidak lagi saya dapati. Setiap pagi itu pula mama dengan sigap membuka dan merapikan seluruh dagangannya. Sepulang saya mengaji semua sudah tertata rapi, mulai dari sembako hingga sayuran yang dibelinya sebelum waktu subuh tiba.
Sebelum berangkat ke sekolah saya menyaksikan bagaimana mama berjibaku dengan seluruh pekerjaannya. Dia tidak pernah mengeluhkan itu, terlebih jika saya dan kakak-kakak bisa sedikit banyak membantu pekerjaannya. Sepulang sekolah pemandangan itu pula yang setiap hari saya lihat, mama dan warung kecil berteralis kayu yang disebutnya sebagai tangkeban. 
Beranjak sore selepas ashar, aku adalah anak usia delapan tahun pada umumnya. Pilihan terbaik dari sebuah hidup yang dijalani anak berusia delapan tahun adalah bermain bersama teman sebayanya. Kami memiliki satu tempat terbaik yang cukup membuat kami senang berada di sana. Bebas dan tak terbatas melakukan apapun yang akrab sebagai permainan khas anak kala itu.
Sebuah ruang berukuran cukup luas, mungkin sekitar 3x4 meter persegi berada tidak jauh dari tempat saya tinggal. Ruangan yang di dalamnya memiliki beberapa tiang penyangga itu selalu tampak terang di siang hari dan terasa hangat di malam hari. Di banding rumah kami bangunan itu sangat luas untuk melakukan banyak permainan anak-anak. Sementara itu di lantai 2 sebuah ruangan berukuran sama namun berdinding kayu menyimpan sebuah asal usul yang menjadi salah satu alasan kenapa hari ini saya menyukai dunia literasi, ya….. sebuah taman bacaan sedehana dengan hanya satu rak buku di ruangan seluas itu.
Setiap sore hingga bada isya kami menghabiskan masa kecil yang bermakna. Seorang wanita paruh baya menyertai masa kecil kami dengan berbagai pengetahuan agama. Sebuah madrasah yang dibuat ia bersama keluarga menyisakan cerita yang sulit menghilang dari ingatan hingga saat itu telah berlalu 18 tahun kemudian. 
Hingga satu minggu yang lalu, sedikit dari atmosfir itu dikembalikan dari persembunyiannya. Tatkala aku merasakan ia kembali dalam dimensi yang lain. Tiba-tiba bayangan masa lalu yang menyenangkan itu menyeruak, berlinang pelupuk mata menahan keharuan. Haru yang teramat pada masa yang menghadirkan orang-orang terkasih di dalamnya. Wanita paruh baya yang mengisi kepalaku dengan ilmu agama, ibunda tercinta yang keduanya telah tiada, sahabat-sahabat masa kecil dengan kehidupan mereka kini, dan atmosfir kehidupan yang rasanya tidak pernah lagi saya temukan.
Hari itu, saya duduk di samping suami yang telah hampir satu bulan kebelakang ikut menjadi bagian dari malaikat-malaikat kecil itu menghabiskan waktu magrib hingga selepas shalat isya. Mempelajari hadist-hadist rasul yang paling sederhana, membaca Al-Qur’an hingga bermain tepuk bersama.
Mereka yang hadir dengan kekhasan anak-anak pengajian zaman saya di delapan belas tahun silam, berpakaian muslim muslimah, Al-Qur’an dan alat shalat di tangan datang bersama semangat mengupdate isi kepala mereka dengan ilmu agama. Nadhom-nadhom yang juga pernah saya dengarkan delapan belas tahun silam kini hadir kembali di tengah kekhawatiran saya dan suami perihal semakin berkurangnya keberadaan madrasah semacam ini dan langkanya pemandangan anak-anak yang berbondong pergi kemadrasah untuk mengaji.
Atmosfir masa lalu yang hadir di dimensi ini, memutar rekaman wajah-wajah yang tak lagi saya temui wujudnya hari ini. Saya yang dimasa lalu adalah sebagai mereka yang hari ini berda tepat dihadapanku, berusia sekitar delapan hingga 10 tahun. Membawaku pada keharuan dan keingninan untuk kembali pada masa itu.
Kemana saya satu bulan lalu?, saat suami memutuskan membantu mengajar selama satu minggu satu kali di madrasah samping rumah ibu mertua. Saya yang hanya memberi dukungan atas pilihan suami dengan meng iya kan tanpa berfikir untuk ikut terlibat didalamnya. Saya yang hanya menunggu ia pulang selepas tiba waktu shalat isya, kemana?
Tapi, masa bodo dengan penyesalan itu, “Kenapa tidak sejak awal saya ikut suami mengajar apa yang sedikit saya miliki ini?”. Yang terpenting adalah saya telah tahu bagaimana dan apa yang saya rasakan ketika kedua telapak kaki menginjak latai yang sekan menjadi mesin waktu. Membawa saya pada kenangan masa lalu. Semoga Allah istiqamahkan apa yang saya dan suami jalani hari ini, dan semoga madrasah tetap memiliki tempatnya di tengah keanehan yang diperlihatkan oleh kemajuan zaman.

Wednesday, August 21, 2019

SAAT TEMAN SOSMED JADI MUSUH MENGERIKAN TATKALA MENANTI BUAH HATI

August 21, 2019 0 Comments

“Alhamdulillah, Garis 2”, diikuti smile emoticon disertai foto sebuah test pack sebagai penguatan atas ungkapan yang diunggah di sebuah status salah satu teman facebook. 
“Ngidam rujak nih, bawaan utun”
“Janin sudah sebesar buah blueberry, strawberry atau nangka”, lengkap  dengan emoticon lope-lope menimpa screenshoot sebuah aplikasi kehamilan.  Video seorang memperlihatkan perut besarnya yang bergerak-gerak karena jiwa yang tengah aktif bergerak di dalamnya. Dan ungkapan-ungkapan kebahagiaan lain yang menghiasi insta story teman-teman sosial media saya.
Nyaris setiap hari saya menyaksikan pemandangan itu di sosial media. Sejujurnya, diawal-awal pernikahan merasa ikut bahagia dengan kehamilan teman-teman saya, terlebih ketika tahu salah satu sahabat juga mengalami itu. Bahagia bukan main, rasanya ada atmosfir untuk berfikir positif bahwa tidak akan  lama lagi giliran saya yang mengalami kehamilan.
Kondisi itu berlangsung hingga sekitar 6 bulan pernikahan, sampai semua berubah menjadi kesedihan mendalam saat setiap test pack yang saya beli tidak sama sekali menunjukkan 2 garis merah seperti yang teman-teman saya dapatkan.
Berminggu-minggu menunggu kabar baik hadirnya janin dalam Rahim, dan tibalah saya pada masa menstruasi yang rutin datang secara teratur  tanpa masalah, pecahlah tangisan jika saat itu tiba. Melewati minggu menginjak bulan hingga akhirnya berbulan-bulan kondisi tersebut menghiasi hari-hari.
Kesedihan semakin mendalam, karena di tengah penantian banyak pertanyaan dan pernyataan  tentang kehamilan yang saranya agak menyudutkan kita sebagai perempuan. Di tambah teman-teman sosial media yang memperlihatkan kebahagian atas kehamilan  yang sudah lebih dulu mereka alami. Lengkap sudah rasanya kesakitan itu.

Sebuah aktifitas wajar yang dilakukan mereka sebagai ungkapan kebahagian atas nikmatnya menjadi calon ibu dengan beragam perubahan psikologis yang mereka alami. Tanpa mereka sadari bahwa sesuatu yang biasa mereka lakukan di sosial media, bagi sebagian orang adalah kesakitan yang teramat di dunia nyata. Rasanya kian hari kian abu – abu, warna kehidupan sedikit demi sedikit terurai dalam kesakitan. Setiap kali membuka instagram, facebook atau whatsapp ada kengerian yang membuat penasaran. Saya tahu meihat story mereka hanya akan menimbulkan kesakitan, tapi entah kenapa dorongan untuk membuka apa yang mereka bagikan selalu menjadi pilihan terakhir dengan resiko  terbesar membuat hati berdebar menahan kekecewaan.
Kamu mungkin mengalami juga hal itu???.
Menyakitkan bukan???
Lalu apa yang salah???, kenapa itu semua terasa sangat menyakitkan??. Teman sosial media seperti musuh besar di tengah penantian buah hati?. Apa yang mereka bagikan seperti racun mematikan. Mematikan senyuman dan kebahagian  karena satu hal bernama kehamilan.

 ***

Saya tertarik merenungkan, apa dan siapa yang salah?, siapa yang bertanggung  jawab terhadap kesakitan yang menimpa saya. Dan dari perjalanan merenungkan semua itu saya faham bahwa seluruhnya adalah tanggung jawab saya dan bukan kesalahan siapapun.
Sosial media adalah tempat kedua bagi setiap individu dalam menjalani kehidupan mereka secara pribadi. Benar, sama halnya dengan kehidupan nyata yang walaupun kita hidup berdampingan dengan banyak orang hakikatnya kita sendiri yang menjalani dan menentukan akan diapakan kehidupan tersebut, akan dibagi dengan siapa dan apa saja hak-hak yang kita miliki.
Jadi,menggunakan sosial media sepenuhnya menjadi hak setiap individu. Mereka tidak salah ketika membagikan berita dan kondisi kehamilan mereka di sosial media. Mereka tidak salah show up tentang apapun yang mereka alami selama proses kehamilan. Mereka tidak salah dengan sebanyak apapun insta story tentang kehamilan yang mereka buat setiap harinya. Tidak ada yang salah dengan mereka.
Kita juga tidak salah, tentu sebagai manusia biasa ada sisi lemah yang membuat kita lebih sensitif terhadap sesuatu yang menyentuh hati. Termasuk ketika kita melihat apa yang kita inginkan belum kita peroleh sementara orang lain dengan bahagia membagi apa yang sudah mereka dapatkan.
Tapi kita tentu bertanggung jawab dan punya andil besar untuk mengendalikan diri kita sendiri. Bagaimana agar apa yang kita lihat dan dengar , walaupun menyakitkan tetap  terasa menyenangkan. Tidak perlu merasa menjadi korban tatkala menyaksikan teman-teman sosial media show up kebahagiaan mereka terkait kehamilan. Kita tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Sebahagia apapun seseorang di sosial media, mereka tetap saja menyimpan permasalahan yag hadir di kehidupan nyata.

Selama kita masih merasa bahwa sosial media adalah sebuah kebutuhan, masih ingin menggunakannya, gunakanlah dengan bijak dan mulailah berdamai dengan apa yang mungkin kita lihat disana. Rasanya menjadi tidak perlu menyalahkan siapapun, tidak perlu merasa tersakiti dan tidak perlu berfikir bahwa mereka adalah musuh terbesar dalam penantian. Lagi-lagi menata hati menjadi pilihan terbaik untuk menyayangi diri kita dengan membiarkannya selalu dalam kondisi bahagia.
Tetap semangatttttt, jangan berhenti berdo’a dan berusaha, Allah paling tau kapan waktu terbaik menghadirkan buah hati dalam kehidupan kita. Mari sama-sama belajar menerima dan ridho dengan apa yang Allah hadapkan pada kita dan kehidupan yang tengah kita jalani. 

Sunday, August 18, 2019

"Menata Hati" Ketika Belum Kunjung Hamil...

August 18, 2019 3 Comments

Kamu mungkin tau bagaimana rasanya sangat berharap memiliki momongan sementara kesempatan hamil bahkan belum pernah kamu rasakan. Bagaimana rasanya di cecar beragam pertanyaan perihal kehamilan, kenapa belum hamil?, Ditundakah? Dan lain sebagainya perihal itu. Berapa banyak test pack yang kamu beli tanpa satupun memberikan kabar baik. Seberapa keras kamu menata hati menyaksikan teman temanmu show up kehamilan mereka di sosial media??. Bagaimana kamu berfikir sedang hamil dengan tanda tanda yang kamu temukan pada dirimu, lalu ternyata itu bukan tanda kehamilan? Bagaimana hari-harimu diisi dengan menunggu kabar baik itu, namun belum kunjung datang?.


Kamu pasti tau bukan bagaimana rasanya???...

Saya mengalami itu, saya berdo'a, beristigfar, memohon dan meminta.
Saya kebingungan, nasihat untuk terus beristigfar saya lakukan, bershalawat saya dawamkan . Tapi, kalian tentu tahu apa yang kemudian  terjadi?, hasilnya tetap sama.  Saya terus bertanya dosa apa yang belum terampuni????.


Hingga sampailah saya di titik sangat lelah menunggu, lelah berdo'a, lelah berusaha, dan berakhir pada titik dimana saya berani menyalahkan Allah dan ketetapannya. Astagfirullah....


Saat seperti itu pula, adalah saat dimana saya bertarung dengan lingkungan.
Mengapa demikian???
Lingkungan menyiratkan banyak gambaran kehidupan yang saya inginkan, namun bertentangan dengan apa yang saya tengah jalani.


Teman teman yang show up kehamilan mereka di sosial media, sementara saya belum hamil. Teman-teman saya bilang mereka bahagia, saya tidak merasakan sebahagia apa. Mereka tersenyum saya berfikir dan bertanya "kenapa??", "Kenapa saya??"

***

Rasanya ini bukan kali pertama saya menunggu, bukan juga yang ke dua atau ke tiga, ini kesekian, menunggu apa yang benar-benar saya inginkan. Harusnya mulai terbiasa menunggu, tapi faktanya saya memang hanya manusia biasa yang secara personal suasana hati mudah berubah dan tingkat keimanan yang naik turun dengan signifikan.


Harus bagaimana??? 

Sementara ingin rasanya melewati penantian ini dengan baik, mengukir jejak yang indah tanpa menyalahkan Allah, menghakimi takdir dan meratapi nasib.
Saya ingin tetap bahagia di tengah hujan status kehamilan teman-teman saya, saya ingin sudut mata ini tetap kering tatkala setiap bulan mendapati kenyataan bahwa ikhtiar menghadirkan momongan masih harus dilakukan. 


Akhirnya saya benar benar menyalahkan Allah, menghakimi takdir dan meratapi nasib dengan derai air mata yang menganak sungai.

***

Lalu kembali lah saya pada masa lalu, melihat dan mengingat apa yang pernah terjadi kala itu. Bagaimana saya menunggu banyak hal hingga akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan. 

Yang saya ingat, saya tetap hidup sampai detik ini, saya mampu melewati momentum penantian di masa lalu dan saya akui dari experience itu saya belajar banyak. Dengan begitu apa alasan saya tidak bisa melewati ini dengan baik?.


Baiklah.....
Saya rasa perlu melakukan sesuatu untuk tetap bahagian dalam penantian ini.
Sesuatu yang membuat saya lupa dengan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan ketidak syukuran.


Terus "Menata Hati"....
Ya, itu yang kemudian harus saya lakukan.
Seperti ruangan dalam rumah, saya memiliki ruang dalam hati.
Jika rumah yang tertata rapi akan terasa nyaman dan menyejukkan, begitu pun hati.


Bagaimana kemudian saya berupaya menata hati??

Yakni dengan mengingat bahwa apapun yang terjadi adalah bentuk kecintaan Allah terhadap hambanya.
Bahwa yang kita rasa baik belum tentu bagi Allah dan sebaliknya.
Bahwa apa yang belum di dapatkan adalah sesuatu yang telah Allah persiapkan dengan sempurna sebelum akhirnya tangan kita menerimanya.


Tidak perlu menghindari teman teman yang sudah lebih  dulu Allah beri kesempatan hamil. Tidak perlu berprasangka buruk ketika mereka show up kehamilan di sosial media.
Tidak perlu menanggapi negatif pertanyaan khalayak tentang kenapa belum hamil?.

Tidak lakukan itu, karena jika iya, lelah lah kita.

Menata hati, adalah meletakkan dengan tepat dan pada posisi semestinya sesuatu di dalam hati. Semoga seluruh perempuan dengan kondisi serupa, semakin pandai menata hatinya. Begitupun saya, yang sampai detik ini masih terus berusaha.
Semangat sahabat....


Insyaallah, Allah segerakan kehadiran putra putri melengkapi kehidupan rumah tangga kita

Wednesday, August 14, 2019

SATU TAHUN MENIKAH BERKALI-KALI SAYA DITAMPAR SUAMI

August 14, 2019 5 Comments

      
     Berulang kali saya katakan, saya adalah si melankolis yang dramatis. Mudah tersentuh hatinya dan terlalu mendramatisir apa yang di alami. Selalu berfikir bahwa menjadi saya tidak mudah, penuh ujian dan tantangan. Sebelum akhirnya menikah banyak kesakitan yang saya dapatkan, banyak kekecewaan yang saya terima. Sempat menyerah dengan Rahmat Allah karena jodoh saya tak kunjung datang kala itu.
       Setiap hari saya meminta yang terbaik, tapi yang datang adalah sosok sosok Bumengecewakan. Tidak se visi dan se misi, tidak kooperatif dan akhirnya membuat saya menangis dan selalu seperti itu berulang-ulang kali.
      Suatu ketika sampailah pada momentum dimana seseorang datang untuk menyampaikan niat nya melamar saya. Satu tahun yang lalu tepatnya, ketika saya berada dititik pasrah dengan apa yang Allah tetapkan. Saya menerima lamarannya, hingga dia secara agama dan negara sah sebagai suami saya. Tentu saya bahagia dengan visi misi yang ia tawarkan. Semua nyaris sama dengan  apa yang saya harapkan ada pada suami saya.
      Sampai disana semua baik-baik saja. Saya menikmati menjadi istri dari suami saya. Dia baik, bertanggung jawab dan menghargai saya tidak hanya sebagai istri tapi sebagai perempuan dengan segala keterbatasannya.
     Kebiasaan kami yang paling menonjol  setelah menikah adalah saling bertukar informasi, saling berbagi kisah apa yang terjadi dari satu hari yang kami lewati. Bahkan lambat laun hal itu menjadi rutinitas. Dan dari rutinitas itu aku semakin lebih jauh mengenal siapa sebenarnya dia.
       Lama kelamaan tampak lah dengan jelas perangai suami saya. Sering kali dia menampar dan membuat saya menangis.
Kian hari kian sering hal itu terjadi. Terlebih setelah kami kerap membuka pembahasan tentang belumnya Allah memberi kami kepercayaan untuk memiliki anak dalam kehidupan rumah tangga kami. Hal itu selalu berakhir dengan tamparan yang membuat saya bercucuran air mata.
      Puncaknya kemarin malam. Saat kami kembali membahas perihal anak dan keturunan yang belum menunjukkan tanda tanda kehadiran nya.
Entah kenapa saya tiba tiba terdorong untuk bertanya satu pertanyaan yang sebetulnya saya menyadari bahwa itu agak konyol.
"Aa (panggilan saya untuk suami), kenapa aa nggak pernah terlihat marah sama Allah??"
"Kalo harus marah, alasannya apa??,"jawab suami.
"Alasan nya ya karena kita belum punya anak, aku belum ada tanda tanda kehamilan setelah satu tahun kita menikah, kita sudah ikhtiar, sudah do'a siang malam, tapi Allah belum juga memberi kepercayaan itu." Berlinang lah saya tiba-tiba, dan ini bukan kali pertama. Momentum membahas hal ini selalu berakhir dengan pecahnya tangisan saya.
       Suami tersenyum, melihat saya menangis dia  seperti sedang menonton sebuah kelucuan. Sejenak dia terdiam hingga akhirnya kembali menanggapi perkataan saya.
"Apa harus marah hanya karena itu?, setelah sekian banyak kenikmatan yang Allah kasih. Justru aa malu, dengan begitu banyak kebaikan Allah, aa belum bisa jadi hamba yang baik. Syukuri, apa yang kita dapat saat ini. Kalo soal dunia sering-seringlah melihat ke bawah.
Saat ini kita belum Allah beri kepercayaan punya anak, coba lihat sahabat-sahabat kita yang saat ini masih menanti jodohnya. Kalo sekarang kita belum kaya harta coba lihat saudara kita yang untuk cari makan hari ini saja masih kesulitan, sementara Alhamdulillah Allah sudah cukupkan kita. Lihatlah ke bawah insyaallah kita akan lebih banyak bersyukur."
       Semula hanya berlinang, seketika sudut mata  menumpahkan genangan air yang mengalir melewati setiap garis wajah, deras sekali hingga saya terisak dalam pelukan sosok yang selalu menenangkan itu.
       Untuk kesekian kali saya di tampar kata-kata penuh kelembutan, terlontar dari pribadi yang selalu berusaha tampak manis di depan saya. Tidak pernah marah, tidak pernah berbicara dengan nada yang terlampau tinggi dan selalu memotivasi.
Semoga Allah istiqamah kan ia dalam kebaikan.
       Tamparan demi tamparan itu selalu terasa menyayat hati, tatkala saya ingat betapa pengabdian ini masih jauh untuk
membalas kebaikan sang maha Rahman.
Bahkan mungkin nyaris tidak mampu membalas semua yang telah Allah berikan.
      Semakin menyayat hati, saat saya sadar setiap tantangan yang Allah berikan   adalah bentuk cinta yang diakhiri dengan pemberian hadiah terbaik.
       Seperti suami saya, pribadi baik yang Allah kirimkan untuk menjadi bagian dari hidup saya setelah sebelumnya Allah lebih dulu pertemukan dengan sosok sosok yang memang tidak baik untuk si melankolis seperti saya. Hadirnya suami adalah salah satu dari sekian banyak  alasan untuk selalu bersyukur dan berhusnudzon kepada Allah. Dan berkat kelembutan hatinya lah saya mampu menyadari itu.
       Semoga Allah segerakan kehadiran buah hati dalam perjalanan rumah tangga kami... Aamiin..    

Thursday, May 17, 2018

Masihkah Rapuh Wahai Perempuan!!!

May 17, 2018 0 Comments

Bagaimana seorang Oprah berjalan hingga berlari  untuk sebuah predikat yang disandangnya kini... 
Perempuan yang Sukses dan bangkit dari kemiskinan. . . 
..

Sebelum akhirnya saya berbagi tentang sosok yang tidak asing sebenarnya.  Lebih dulu saya akan berbicara tentang apa yang melatar belakangi topik yang finally saya tulis sekarang. 
Bermula dari siapa saya?  Adalah sosok rapuh yang orang tidak banyak tahu seperti apa sisi kerapuhan saya.  Melewati titik terendah dalam hidup menjadikan saya menemukan banyak hal,  moment,  orang orang luar biasa hingga kejutan-kejutan tak terduga. 

Ketika itu, untuk bangun dan bangkit hal kecil yang saya lakukan adalah tentang bagaimana membangun sendiri motivasi untuk tetap bertahan menjalani kerasnya hidup (tidak hanya dari sisi materi). 

Saya membaca profil dan  mendalami kisah-kisah pilu sosok yang saat ini tampak luar biasa dimata khalayak.  Oprah Winfrey salah satunya. 

Ratu Talk Show dunia yang mengawali kesuksesandengan kisah pilu yang membuat saya termotivasi dari berbagai sisi kehidupan nya. 

Lahir di Kosciuscko,  mississipi pada 29 januari 1954. Masa kecilnya dilalui dengan kepedihan akibat kemiskinan yang membelenggu ia dan keluarganya.  Terlahir dari seorang ayah yang bekerja sebagai tukang cukur dan sang ibu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.  Ayah dan ibunya  bercerai yang kemudian membuat hidupnya semakin sulit. 

Selama tinggal  bersama sang ibu,  ia menjadi pribadi dengan sekian upaya mencari perhatian ibunya.  Bahkan ia pernah pergi dari rumah selama satu minggu hanya untuk mencari perhatian.  Namun upayanya sia sia.  Suatu ketika Oprah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari sepupunya sendiri dalam bsntuk pelecehan seksual yang membuatnya melahirkan seorang bayi di usianya menginjak 14 tahun.  Namun berselang 2 minggu setelah lahir,  anaknya meninggal dunia. 
..
..
Oprah memulai kehidupan barunya bersama sang ayah bernama Vernon Winfrey dan ibu tirinya Zelma di Nashville. Di sana dia memperoleh pendidikan disiplin dari sosok yang membuatnya belajar lebih giat. Mengapa demikian?,  ternyata ayah Operah merupakan seorang ayah yang sangat tegas dalam mendidik anak anaknya.  Dia tidak mentolelir nilai di sekolah anak anak nya selain nilai A.  Kemudian ayahnya  selalu memberikan buku mengenai orang orang sukses seperti diantaranya Enstein lalu menyuruhnya menulis ulang dan membacakannya dihadapan sang ayah...  Walaupun pada awalnya ia sangat tidak menyukai cara ayahnya mendidik namun akhirnya dia berterimakasih untuk apa yang ayahnya ajarkan..
Pad usia 17 tahun Oprah memulai karirnya sebagai penyiar berita di radio lokal.  Bahkan ia memperoleh bayaran cukup besar dari pekerjaannya tersebut pada saat itu. 
Usia 19 tahun sebuah stasiun televisi di Nashville menemukan bakatnya dan mempekerjakan ia sebagai wartawan dan penyiar berita.  Hingga ia menjadi wanita negro pertama dan termuda stasium televisi lokal tersebut. 
Pada 1984 Oprah didaulat untuk memandu acaranya sendiri di sebuah Chicago A. M Chicago.  Tidak perlu waktu yang lama akhirnya dia menjadi bintang di lebih  dari 120 kota di Amerika.  Bahkan pada 1986 acara The Oprah Winfrey di tonton oleh sebanyak 48 juta pemirsa dan disiarkan secara internasional di 126 negara. 

Bagaimana tidak,  buat saya ini menarik dan menginspirasi.  Di luar dati kisah kisah peremuan muslim yang jugatak kalah menginspirasi. Benar jika orang mengatakan bahwa hidul adalah pilihan, demikian juga mengenai  pernyataan bahwa menjalani hidup bukan pekerjaan hang mudah.  Tapi bagaimana kita mampu menjalani hidup  dengan baik jika kita larut dalam kerapuhan dan lupa bahwa di luar sana  banyak orang yang tidak lebih beruntung dari kita namun mampu bangkit seperti halnya Oprah Winfrey. 
Mariii bangun perempuan yang mungkin saat ini tengah melewati masa-masa sulitnya menjalani kehidupan.